Klik Promo Umroh Akhir Tahun 2015 Hanya $ 1.750 & Awal Tahun 2015 Hanya 1.525 Dibimbing langsung Oleh Ustadz - Ustadz Ahlussunnah pengajar ALIA Islamic School

Kamis, 11 Juni 2015

KEUTAMAAN PUASA

KEUTAMAAN PUASA   

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ الله ِصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :((قَالَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ : كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ ,وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ، وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَصْخَبْ، فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ. وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ. لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ، وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ صَوْمِهِ))مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذََا لَفْظُ رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ. وَفِيْ رِوَايَةٍ لَهُ: يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ، اَلصِّيَامُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا وَ فِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، اَلْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : (إِلاَّ الصَّوْمَ فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أجْلِي). لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ . وَلَخُلُوْفُ فِيْهِ أطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ المِسْكِ.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.’Puasa adalah perisai. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor/keji (cabul) dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya atau mengajak bertengkar, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’ Demi Allâh yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allâh daripada aroma minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.’”[Muttafaq ‘alaihi, dan ini lafazh al-Bukhâri]

Dalam suatu riwayat lain imam al-Bukhâri, “Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya. Setiap satu kebaikan akan dibalas sepuluh kali lipatnya.”

Dalam riwayat Muslim, “Semua amalan anak Adam dilipatgandakan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allâh Azza wa Jalla berfirman, ‘Kecuali puasa.Sesungguhnya puasa itu untuk Aku, dan Aku-lah yang membalasnya.Dia meningalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.’Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya.Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allâh daripada aroma minyak kesturi.”

TAKHRI HADITS:
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh al-Bukhâri (no. 1894, 1904, 5927, 7492, 7538); Muslim (no. 1151); Ahmad (II/232, 266, 273); Ibnu Mâjah (no. 1638); an-Nasa-i (IV/163-164), dan Ibnu Khuzaimah (no. 1896, 1900).

KOSA KATA HADITS:
جُنَّةٌ : Benteng, pelindung dari api Neraka dan kemaksiatan.
اَلرَّفَثُ : Ucapan kotor dan keji.
الصَّخَبُ : Bertengkar dan berteriak.
خُلُوْفٌ : Perubahan bau mulut.

SYARH HADITS
Betapa agungnya hadits ini karena didalamnya disebutkan amalan secara umum, kemudian disebutkan puasa secara khusus, keutamaannya, kekhususannya, pahala yang akan diperoleh dengan segera maupun yang akan datang, penjelasan hikmahnya, tujuannya, dan apa-apa yang harus diperhatikan seperti adab-adab yang mulia. Semua hal tersebut tercakup dalam hadits ini.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pokok yang menyeluruh, bahwa semua amal shalih, dilipatgandakan (amal shalih tersebut) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat, bahkan hingga berkali-kali lipat lebih dari itu.

Ini menunjukkan keagungan dan luasnya rahmat Allâh dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman, karena Allâh Azza wa Jalla membalas satu perbuatan buruk dan menyelisihi syari’at dengan satu balasan.

Adapun balasan kebajikan, maka pelipatgandaan minimal sepuluh kali, dan bisa lebih dari itu dengan sebab-sebab lain. Di antaranya yaitu kuatnya iman seorang hamba dan kesempurnaan ikhlasnya. Jika iman dan ikhlas semakin bertambah kuat, maka pahala amal shalih pun akan berlipat ganda.

Di antaranya juga yaitu amalan yang memiliki porsi besar, seperti berinfak dalam rangka jihad di jalan Allâh dan menuntut ilmu syar’i, serta berinfak untuk proyek-proyek agama Islam secara umum. Dan juga seperti amalan yang semakin kuat karena kebaikannya dan kekuatannya dalam menolak hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah orang yang tertahan dalam gua[1] , dan kisah pezina yang memberi minum seekor anjing lalu Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya[2] . Dan juga seperti suatu amalan yang dapat menumbuhkan amalan lain dan diikuti oleh orang lain. Dan juga seperti menolak bahaya-bahaya yang besar atau menghasilkan kebaikan-kebaikan yang besar. Dan juga seperti amalan-amalan yang berlipat ganda karena keutamaan waktu dan tempat, serta keutamaan seorang hamba di sisi Allâh Azza wa Jalla . Semua pelipatgandaan ini mencakup semua amalan.

Kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengecualikan puasa dan menyandarkannya kepada-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang akan membalasnya dengan keutamaan dan kemuliaan-Nya, dengan tidak melipatgandakannya seperti amalan yang lain. Ini adalah suatu hal yang tidak dapat diungkapkan, bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala membalasnya dengan sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata, tidak didengar oleh telinga, dan tidak terlintas dalam benak manusia.

Ulama berbeda pendapat tentang makna :

فَإنَّهُ لِيْ وَأنَا أجْزِيْ بِهِ

Puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya

Padahal semua amal perbuatan adalah untuk Allâh Azza wa Jalla dan Dia-lah yang akan membalasnya, sebagai berikut:

Pertama : Di dalam puasa tidak terdapat unsur riya’ sebagaimana yang terjadi pada ibadah lainnya.

Kedua : Bahwa yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” adalah “Hanya Aku-lah yang mengetahui besarnya balasan orang tersebut dan berapa banyak kebaikannya dilipatgandakan. Adapun ibadah lainnya, karena ia dapat dilihat orang.”

Ketiga: Yang dimaksud dengan “dan Aku-lah yang akan membalasnya,” yaitu bahwa puasa adalah ibadah yang paling Aku cintai dan yang akan didahulukan di sisi-Ku.

Keempat: Idhâfah (penyandaran) dalam redaksi ini merupakan idhâfah tasyrîf (kemuliaan) dan ta’zhîm (keagungan), sebagaimana dikatakan “Baitullah (rumah Allâh), meskipun seluruh masjid sebenarnya adalah milik Allâh.” az-Zain Ibnul Munayyir t berkata, “Pengkhususan pada konteks redaksi umum seperti ini tidaklah dipahamiselain dengan makna pengagungan dan pemuliaan.”

Kelima: Tidak membutuhkan makan dan syahwat-syahwat lainnya merupakan salah satu sifat Allâh Azza wa Jalla . Dan karena orang yang berpuasa mendekatkan dirinya dengan salah satu sifat-Nya, maka Dia pun menyandarkan ibadah tersebut kepada diri-Nya.

Keenam: Maksudnya sama seperti di atas; hanya saja hal tersebut sesuai dengan sifat malaikat. Karena tidak membutuhkan makan dan tidak memiliki syahwat merupakan salah satu sifat mereka.

Ketujuh: Maksudnya bahwa puasa tersebut murni hanya untuk Allâh Azza wa Jalla , dan tidak satu bagian pun dari ibadah tersebut yang ditujukan kepada sesama hamba. Demikian yang dikatakan oleh al-Khaththabi dan demikian pula pendapat yang dinukil oleh ‘Iyâdh dan yang lainnya.

al-Baidhawi rahimahullah berkata, “Ada dua hal yang menjadi alasan mengapa ibadah puasa diistimewakan dengan kelebihan seperti ini. Pertama, karena ibadah-ibadah lainnya dapat dilihat oleh manusia, berbeda dengan puasa karena ia merupakan rahasia antara hamba dan Allâh Azza wa Jalla . Ia melakukannya dengan ikhlas dan mengerjakannya karena mengharap ridha-Nya. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa salla, (hadits qudsi, yang artinya) , ‘Sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku.’

Kedua, karena seluruh perbuatan baik dilakukan dengan cara mengeluarkan harta atau mempergunakan fisik. Sementara puasa mencakup pengekangan hawa nafsu dan membuat fisik menjadi lemah. Dalam ibadah puasa terdapat unsur kesabaran menahan rasa lapar, haus, dan meninggalkan syahwat. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allâh Azza wa Jalla dalam sabda beliau n (hadits qudsi, yang artinya), ‘Dia meninggalkan syahwatnya karena-Ku.’”[3]

Para Ulama berkata, “Puasa dikecualikan karena ia mencakup tiga macam sabar, yaitu (1) sabar dalam (melaksanakan) ketaatan kepada Allâh, (2) sabar (menjauh) dari maksiat kepada Allâh, dan (3) sabar terhadap takdir Allâh.”

Adapun sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allâh, yaitu seorang hamba membebani dirinya untuk berpuasa walaupun terkadang ia tidak menyukainya karena ada kesulitannya, bukan karena Allâh telah mewajibkannya. Jika seseorang membenci puasa karena Allâh mewajibkannya, maka akan semua amalnya akan terhapus. Seseorang yang tidak menyukai puasa karena sulit, namun ia tetap memaksa dirinya untuk berpuasa, ia bersabar (menahan diri) dari makan, minum, dan jima’ karena Allâh Azza wa Jalla .Oleh karena itu disebutkan dalam hadits qudsi di atas, Allâh berfirman :

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أجْلِيْ

Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.”

Sedangkan sabar (menahan diri) dari maksiat kepada Allâh, ini didapat dari orang yang berpuasa, karena ia menyabarkan dirinya dan menjauhkan dirinya dari berbuat maksiat kepada Allâh. Ia menjauhi hal yang sia-sia, berkata kotor, bodoh, dusta, dan selainnya dari apa-apa yang Allâh Subhanahu wa Ta’ala haramkan.

Adapun sabar terhadap takdir Allâh, yaitu seseorang diuji ketika ia berpuasa -apalagi jika pada musim panas yang panjang- dengan rasa malas, bosan, dan haus, tetapi ia tetap bersabar karena mengharapkan ridha Allâh Subhanahu wa Ta’ala .Ketika puasa mencakup tiga macam sabar tersebut, maka ganjarannya tidak terbatas. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

مَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“…Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.” [az-Zumar/39:10]

Hikmah dari pengkhususan tersebut yaitu bahwa orang yang berpuasa ketika dia meninggalkan hal-hal yang dicintai oleh hawa nafsunya karena Allâh, maka itu artinya ia telah mendahulukan kecintaannya kepada Allâh dari segala kecintaan jiwanya, ia lebih mengharap ridha-Nya dan ganjaran-Nya daripada meraih keinginan hawa nafsu. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mengkhususkan puasa untuk diri-Nya dan menjadikan pahala orang yang berpuasa di sisi-Nya.

Coba Anda pikirkan, bagaimana dengan ganjaran dan balasan yang diberikan oleh Allâh Azza wa Jalla , Yang Mahapengasih, Mahapenyayang, Mahadermawan, Mahapemberi, yang pemberian-Nya menyeluruh kepada semua makhluk yang ada, lalu Allâh mengkhususkan untuk para wali-Nya bagian yang banyak dan sempurna, dan Allâh mentakdirkan buat mereka sarana yang dengannya mereka bisa meraih apa-apa yang ada di sisi Allâh berupa perkara-perkara yang tidak pernah terlintas dalam benak dan dalam khayalan?! Bagaimana dengan apa yang akan Allâh Azza wa Jalla lakukan kepada mereka, orang-orang yang berpuasa dengan ikhlas?!

Itulah karunia yang Allâh berikan kepada siapa yang dikehendaki

Hadits ini juga menunjukkan bahwa puasa yang sempurna yaitu jika seorang hamba meninggalkan dua perkara:

Pertama, pembata-pembatal puasa seperti makan, minum, jima’ (bersetubuh) dan lainnya.

Kedua, hal-hal yang mengurangi (kesempurnaan) amalan, seperti berkata kotor, jorok, cabul dan berteriak-teriak, mengerjakan perbuatan haram dan pembicaraan haram. Jauhkanlah semua maksiat, pertengkaran, dan perdebatan yang menyebabkan dendam. Karena inilah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, "Janganlah berkata kotor/keji (cabul).”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, yang artinya, "Janganlah berteriak-teriak!" Yaitu perkataan yang menyebabkan fitnah dan permusuhan. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang lain:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannya, maka Allâh tidak butuh kepada (puasanya) yang hanya meninggalkan makan dan minumnya[4]

Barangsiapa menerapkan dua perkara tersebut di atas maka sempurnalah pahala puasanya. Siapa yang tidak menerapkannya, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuki orang yang puasa bahwa apabila ada yang mengajak untuk bertengkar dan mencelanya, hendaklah ia mengatakan:

إِنِّي صَائِمٌ

Sesungguhnya aku sedang berpuasa

Faidahnya yaitu bahwa seakan-akan ia berkata, “Ketahuilah bahwa aku bukannya tidak bisa membalas apa yang engkau katakan, tapi sesungguhnya aku sedang berpuasa. Aku menghormati puasaku dan menjaga kesempurnaannya, serta perintah Allâh dan rasul-Nya. Dan ketahuilah bahwa puasa mengajakku untuk tidak membalas semua itu dan memerintahkanku untuk bersabar. Maka apa yang aku lakukan ini lebih baik dan lebih mulia dari apa yang engkau perbuat kepadaku, wahai orang yang mengajak bertengkar!”

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ

Puasa adalah perisai

Yaitu penjaga yang menjaga seorang hamba dari dosa-dosa di dunia, membiasakannya untuk mengerjakan kebajikan, dan menjaga dari siksa neraka.

Ini adalah hikmah syari’at yang paling agung dari faidah puasa, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman!Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” [al-Baqarah/2:183]

Jadi, puasa menjadi perisai dan sebab untuk mendapat ketakwaan. Karena puasa mencegah dari perbuatan haram dan apa-apa yang dilarang serta memerintahkan untuk memperbanyak amal ketaatan kepada Allâh dan Rasul-Nya.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ : فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ ، وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ

Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya

Kedua ganjaran ini, ganjaran pertama, segera didapat dan ganjaran kedua, ganjaran yang didapatkan di akhirat. Yang langsung didapat yaitu ketika orang yang berpuasa itu berbuka, ia gembira karena nikmat Allâh yang diberikan kepadanya sehingga bisa menyempurnakan ibadah puasanya.

Sedangkan ganjaran yang akan datang yaitu kegembiraannya ketika bertemu Rabb-nya dengan keridhaan-Nya dan kemuliaan-Nya.

Kegembiraan yang didapat langsung di dunia ini adalah contoh dari kegembiraan yang akan datang, dan Allâh akan mengumpulkan keduanya bagi orang yang berpuasa.

Dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga menunjukkan bahwa orang yang berpuasa jika sudah mendekati waktu berbuka, maka ia mendapat kegembiraan. Itu merupakan balasan dari apa yang telah ia lalui pada siang hari berupa kesulitan menahan nafsu.

Ini untuk menumbuhkan semangat dan berlomba dalam berbuat kebaikan.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

Sungguh, bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allâh daripada aroma minyak kesturi

al-Khulûf yaitu pengaruh bau dalam mulut ketika kosong dari makanan dan naiknya uap. Walaupun ini tidak disukai oleh orang, tapi janganlah engkau bersedih, wahai orang yang berpuasa! Karena sesungguhnya ia lebih wangi di sisi Allâh daripada minyak kesturi dan berpengaruh pada ibadah dan pendekatan diri kepada-Nya. Dan semua yang meninggalkan pengaruh dalam ibadah berupa kesulitan dan ketidaksukaan, maka itu dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla . Dan kecintaan Allâh bagi orang Mukmin lebih didahulukan dari segala sesuatu.[5]

FAWAA-ID
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjamin balasan puasa seseorang dengan balasan yang istimewa

2. Apapun yang berhubungan dengan ibadah puasa, baik kadar keikhlasan hamba, diterima atau tidak, maupun kadar jerih payah dalam melaksanakannya, hanya Allâh yang mengetahuinya.

3. Semua amalan memiliki pahala tertentu, yang kemudian dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali lipat, kecuali puasa. Karena pahala puasa tidak terbatas hitungannya.

4. Puasa adalah benteng, sebagai pelindung dari api neraka dan dosa-dosa yang bisa menjerumuskan ke neraka, serta penghalang dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan syari’at. Oleh karena itu orang yang berpuasa wajib menjaga dirinya dari perbuatan dosa dan maksiat serta menjauhkan hal-hal yang tidak bermanfaat.

5. Orang yang berpuasa tidak boleh berkata kotor, jorok, keji, cabul, perkataan yang membawa kepada persetubuhan, dan lainnya.

6. Orang yang berpuasa tidak boleh berteriak-teriak, tidak boleh bertengkar, dan tidak boleh mengganggu orang lain.

7. Orang yang berpuasa tidak boleh berkata bohong, dusta, membohongi dan menipu orang, dan lainnya.

8. Orang yang terus menerus berbohong dan berlaku bodoh, ghibah, fitnah dan mengadu domba, maka Allâh Azza wa Jalla tidak butuh kepada puasanya.

9. Orang yang berpuasa wajib menjaga lisannya dan anggota tubuh lainnya dari yang terlarang. Dia harus selalu taat, berdzikir, membaca al-Qur'ân, berdo’a, sedekah, dan ibadah lainnya.

10. Puasa melatih dan mendidik diri untuk taat, membiasakan diri bersabar terhadap penyakit dan gangguan karena mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla .

11. Boleh memberitahukan amal ketaatan kepada orang lain apabila dapat membuahkan maslahat dan menolak keburukan. Misalnya ucapan orang yang berpuasa, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.” Ucapan ini digunakan untuk menghindari kata-kata makian seseorang atau ajakan untuk bertengkar.

12. Bau mulut orang yang berpuasa kelak di hari kiamat lebih harum aromanya dari aroma minyak kesturi.

13. Orang yang berpuasa pasti bergembira dengan puasanya. Apalagi menjelang buka puasa, maka semua orang yang berpuasa bergembira karena makan, minum, jima’ yang halal yang tadinya tidak boleh dilakukan selama siang hari, menjadi boleh dengan terbenamnya matahari.

14. Kegembiraan orang yang berpuasa di saat berbuka jangan sampai berlebihan sehingga melanggar syari’at.

15. Orang yang berpuasa atau orang yang beribadah dengan ikhlas, jika ia gembira karena ibadahnya, maka kegembiraannya itu tidak mengurangi pahalanya sedikit pun di akhirat kelak.

16. Kegembiraan yang sempurna didapatkan ketika bertemu Allâh Azza wa Jalla, yakni ketika orang-orang yang sabar dan yang berpuasa diberikan pahalanya secara utuh tanpa dibatasi oleh hitungan.

Maraaji’:
1. Kutubus sittah, Musnad Ahmad, dan Shahih Ibni Khuzaimah.
2. Fat-hul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri, al-hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.
3. Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi.
4. Shahîh at-Targhîb wat Tarhîb, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
5. Bahjatu Qulûbil Abrâr bi Syarh Jawâmi’il Akhbâr, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di.
6. Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
7. Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn, Syaikh Salîm bin ‘Ied al-Hilâli.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XVIII/1435H/2014. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
Klik Promo Umroh Akhir Tahun
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri, no. 2272 dan Muslim, no. 2743 [100].
[2]. HR. al-Bukhâri, no. 3467 dan Muslim, no. 2245
[3]. Diringkas dari Fat-hul Bâri (IV/107-108).
[4]. HR. al-Bukhâri, no. 1903 dan 6057, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[5]. Bahjatu Qulûbil Abrâr bi Syarh Jawâmi’il Akhbâr, hlm. 191-196, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Syarh Riyâdhis Shâlihîn,hlm. 267, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

Selasa, 02 Juni 2015

MAHAD QONITAT ALIA ISLAMIC SCHOOL TANGERANG

Mahad Qonitat ALIA Islamic School Tangerang
(Program Khusus Tahfidz Al Qur'an 30 Juz)
Pembina : Ust. Yudi Kurnia, LC

KURIKULUM MAHAD QONITAT
Masa Pendidikan ditempuh selama 3 tahun dengan target pendidikan sebagai berikut :
1. Beraqidah shohihah dan berakhlak mulia
2. Hafalan 30 Juz
3. Menguasai ilmi dasar agama islam
4. Memiliki Hafalan hadits-hadits pilihan
5. Memiliki kemampuan bahasa arab dasar
6. Mendapatkan Ijazah Paket dan Mahad

Informasi Hub : 021-5420 4541 / 0856 9751 7643

ISLAM SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR

ISLAM SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Sumber : almanhaj.or.id

Oleh ;
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله


Setiap Muslim yakin sepenuhnya bahwa karunia Allâh Azza wa Jalla yang terbesar di dunia ini adalah agama Islam. Seorang Muslim wajib bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla atas nikmat-Nya yang telah memberikan hidayah Islam. Allâh Azza wa Jalla menyatakan bahwa nikmat Islam adalah karunia yang terbesar, sebagaimana firman-Nya :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]

Sebagai bukti syukur seorang Muslim atas nikmat ini adalah dengan menjadikan dirinya sebagai seorang Muslim yang ridha Allâh sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Nabinya. Seorang Muslim harus menerima dan meyakini agama Islam dengan sepenuh hati. Artinya ia dengan penuh kesadaran dan keyakinan menerima apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengamalkan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jika seseorang ingin menjadi Muslim sejati, pengikut Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setia, maka ia harus meyakini Islam sebagai satu-satunya agama yang haq (benar). Ia harus belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh dan mengamalkan Islam dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla dengan mengikuti contoh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kondisi sebagian umat Islam yang kita lihat sekarang ini sangat menyedihkan. Mereka mengaku Islam, KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka Islam, mereka semua mengaku sebagai Muslim, tetapi ironinya mereka tidak mengetahui tentang Islam, tidak berusaha untuk mengamalkan Islam. Bahkan ada sebagian ritual keagamaan yang mereka amalkan hanya ikut-ikutan saja. Penilaian baik dan tidaknya seseorang sebagai Muslim bukan dengan pengakuan dan KTP, tetapi berdasarkan ilmu dan amal. Allâh Azza wa Jalla tidak memberikan penilaian berdasarkan keaslian KTP yang dikeluarkan pemerintah, juga tidak kepada rupa dan bentuk tubuh, tetapi Allâh melihat kepada hati dan amal.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَـى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَـى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Sesungguhnya Allâh tidak memandang kepada rupa kalian, tidak juga kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.[1]

Seorang Muslim wajib belajar tentang Islam yang berdasarkan al-Qur'ân dan Sunnah Nabi n yang shahih sesuai dengan pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum . al-Qur'ân diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla agar dibaca, dipahami isinya dan diamalkan petunjuknya. al-Qur'ân dan as-Sunnah merupakan pedoman hidup abadi dan terpelihara, yang harus dipelajari dan diamalkan. Seorang Muslim tidak akan sesat selama mereka berpegang kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah menurut pemahaman para Shahabat Radhiyallahu anhum .

al-Qur'ân adalah petunjuk hidup, penawar, rahmat, penyembuh, dan sumber kebahagiaan. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ﴿٥٧﴾ قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur'ân) dari Rabb-mu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. Katakanlah (wahai Muhammad), ‘Dengan karunia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ [ Yunus/10:57-58]

ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA AGAMA YANG BENAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Sesungguhnya agama di sisi Allâh ialah Islam… [Ali ‘Imrân/3:19]

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imrân/3:85]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha kepada kamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, ‘Sesungguhnya petunjuk Allâh itulah petunjuk (yang sebenarnya).’ Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, maka tidak akan ada bagimu Pelindung dan Penolong dari Allâh. [al-Baqarah/2:120]

Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa Islam satu-satunya agama yang benar, adapun selain Islam tidak benar dan tidak diterima oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, agama selain Islam, tidak akan diterima oleh Allâh Azza wa Jalla , karena agama-agama tersebut telah mengalami penyimpangan yang fatal dan telah dicampuri dengan tangan-tangan kotor manusia. Setelah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka orang Yahudi, Nasrani dan yang lainnya wajib masuk ke dalam Islam, mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Kemudian ayat-ayat di atas juga menjelaskan bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak senang kepada Islam serta mereka tidak ridha sampai umat Islam mengikuti mereka. Mereka berusaha untuk menyesatkan umat Islam dan memurtadkan umat Islam dengan berbagai cara. Saat ini gencar sekali dihembuskan propaganda penyatuan agama, yang menyatakan konsep satu Tuhan tiga agama. Hal ini tidak bisa diterima, baik secara nash (dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah) maupun akal. Ini hanyalah angan-angan semu belaka.

Kesesatan ini telah dibantah oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur'ân :

وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ ۗ تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿١١١﴾بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Tidak akan masuk surga kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.’ Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ‘Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang-orang yang benar. Tidak! Barangsiapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allâh, dan ia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Rabb-nya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.’ [al-Baqarah/2:111-112]

Orang Yahudi dan Nasrani mengadakan propaganda berupa tipuan agar kaum Muslimin keluar dari ke-Islamannya dan mengikuti mereka. Bahkan mereka memberikan iming-iming bahwa dengan mengikuti agama mereka, maka orang Islam akan mendapat petunjuk. Padahal, Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk mengikuti agama Ibrahim q yang lurus, agama tauhid yang terpelihara. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَىٰ تَهْتَدُوا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۖ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Dan mereka berkata, ‘Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.’ Katakanlah, ‘(Tidak!) tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan dia tidak termasuk orang yang mempersekutukan Allâh. [al-Baqarah/2:135]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebathilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya. [al-Baqarah/2:42]

Berkenaan dengan tafsir ayat ini, “Dan janganlah kalian campuradukkan yang haq dengan yang bathil,” Imam Ibnu Jarîr t membawakan pernyataan Imam Mujâhid rahimahullah yang mengatakan, “Janganlah kalian mencampuradukkan antara agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam.”

Sementara dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, Imam Qatâdah rahimahullah berkata, “Janganlah kalian campur-adukkan agama Yahudi dan Nasrani dengan agama Islam, karena sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allâh Azza wa Jalla hanyalah Islam. Sedangkan Yahudi dan Nasrani adalah bid’ah bukan dari Allâh Azza wa Jalla !”

Sungguh, tafsir ini merupakan khazanah fiqih yang sangat agung dalam memahami Al-Qur-an.

Untuk itulah kewajiban kita bersikap hati-hati terhadap propaganda-propaganda sesat, yang menyatakan bahwa, ‘Semua agama adalah baik’, ‘kebersamaan antar agama’, ‘satu tuhan tiga agama’, ‘persaudaraan antar agama’, ‘persatuan agama’, ‘perhimpunan agama samawi’, ‘Jaringan Islam Liberal (JIL)’, dan lainnya. Bahkan mereka gunakan juga istilah HAM (Hak Asasi Manusia) untuk menyesatkan kaum Muslimin dengan kebebasan beragama.

Semua slogan dan propaganda tersebut bertujuan untuk menyesatkan umat Islam, dengan memberikan simpati atas agama Nasrani dan Yahudi, mendangkalkan pengetahuan umat Islam tentang Islam yang haq, untuk menghapus jihad, untuk menghilangkan ‘aqidah al-wala' wal bara’ (cinta/loyal kepada kaum Mukminin dan berlepas diri dari selainnya), dan mengembangkan pemikiran anti agama Islam. Dari semua sisi hal ini sangat merugikan Islam dan umatnya.

Semua propaganda sesat tersebut merusak ‘aqidah Islam. Sedangkan ‘aqidah merupakan hal yang paling pokok dan asas dalam agama Islam ini, karena agama yang mengajarkan prinsip ibadah yang benar kepada Allâh Azza wa Jalla saja, hanyalah agama Islam.

Rasûlullâh, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , adalah Rasul terakhir dan Rasul penutup. Syari’at beliau n adalah penghapus bagi syari’at sebelumnya. Dan Allâh Azza wa Jalla tidak menerima syari’at lain dari seorang hamba selain syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Islam). Islam adalah syari’at penutup yang kekal dan terpelihara dari penyimpangan yang terjadi pada syari’at-syari’at sebelumnya, dan seluruh manusia diwajibkan untuk mengemban syari’at ini.

Setiap Muslim wajib berpegang teguh kepada agama Islam, dan janganlah ia mati melainkan dalam keadaan Islam. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allâh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. [Ali ‘Imrân/3:102]

Maka siapa saja yang tidak masuk Islam sesudah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mati dalam keadaan kafir maka ia menjadi penghuni Neraka. Wal ‘iyâdzubillâh.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُـحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِـي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ الْأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِـيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Rabb yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang dari umat Yahudi dan Nasrani yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.[3]

AZAS ISLAM ADALAH TAUHID DAN MENJAUHKAN SYIRIK
Setiap orang yang beragama Islam wajib mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan. Dan seorang Muslim juga mesti memahami pengertian tauhid, makna syahadat, rukun syahadat dan syarat-syaratnya, supaya ia benar-benar bertauhid kepada Allâh Azza wa Jalla .

Tauhid menurut etimologi (bahasa) diambil dari kata: وَحَّدَ، يُوَحِّدُ، تَوْحِيْدًا artinya menjadikan sesuatu itu satu.

Sedangkan menurut terminologi (istilah ilmu syar’i), tauhid berarti mengesakan Allâh Azza wa Jalla pada segala sesuatu yang khusus bagi-Nya. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dalam ketiga macam tauhid, yaitu Tauhid Uluhiyyah, Tauhid Rububiyyah, maupun Asma' dan Sifat-Nya. Dengan kata lain, Tauhid berarti beribadah hanya kepada Allâh Azza wa Jalla saja.

Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan. Allâh Azza wa Jalla adalah Raja, Penguasa dan Rabb yang mengatur segala sesuatu.

Tauhid Uluhiyyah artinya mengesakan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan oleh-Nya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’ânah (minta pertolongan), istighâtsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’âdzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya untuk Allâh semata dan ikhlas karena-Nya. Dan ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allâh.

Tauhid Asma’ wa Shifat artinya menetapkan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya n , serta mensucikan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n . Dan kaum Muslimin wajib menetapkan Sifat-Sifat Allâh Azza wa Jalla , baik yang terdapat di dalam al-Qur'ân maupun dalam as-Sunnah, dan tidak boleh ditakwil. Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dan Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa; Tidak ada Ilah melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [al-Baqarah/2:163]

Syaikh al-‘Allâmah ‘Abdurrahman bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah (wafat th. 1376 H) berkata, “Allâh Azza wa Jalla itu tunggal dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, Sifat-Sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dalam Dzat-Nya, Nama-Nama-Nya, dan Sifat-Sifat-Nya. Tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang sebanding, tidak ada yang setara dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Tidak ada yang menciptakan dan mengatur alam semesta ini kecuali hanya Allâh Azza wa Jalla . Apabila demikian, maka Dia adalah satu-satunya yang berhak untuk diibadahi dan Allâh tidak boleh disekutukan dengan seorang pun dari makhluk-Nya.”[3]

Inilah inti ajaran Islam, yaitu mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla . Seorang Muslim wajib mentauhidkan Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan konsekuensi dari kalimat syahadat لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ sebagai wujud rasa syukur kepada Allâh Azza wa Jalla . Barangsiapa yang bertauhid kepada Allâh dan tidak berbuat syirik kepada-Nya, maka baginya Surga dan diharamkan masuk Neraka.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْـجَنَّةَ

Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan ia mengetahui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh, maka ia masuk Surga. [5]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُـحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ

Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar selain Allâh dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allâh, dengan jujur dari hatinya, melainkan Allâh mengharamkannya masuk Neraka[6]

Sebaliknya, orang-orang yang berbuat syirik kepada Allâh Azza wa Jalla , maka diharamkan Surga bagi mereka dan tempat mereka adalah di Neraka. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“...Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allâh, maka sungguh Allâh mengharamkan Surga baginya, dan tempatnya ialah Neraka dan tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [al-Mâidah/5:72]

ISLAM ADALAH AGAMA YANG MUDAH
Islam adalah agama yang mudah dan sesuai dengan fitrah manusia.[7] Islam adalah agama yang tidak sulit. Allâh Azza wa Jalla menghendaki kemudahan kepada umat manusia dan tidak menghendaki kesusahan kepada mereka. Sebagaimana firman Allâh Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“...Allâh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” [al-Baqarah/2:185]

Juga firman-Nya :

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“... Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama ...” [Al-Hajj/22: 78]

Agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fithrah manusia, baik dalam hal ‘aqidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lainnya. Allâh Azza wa Jalla yang telah menciptakan manusia, tidak akan memberikan beban kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup lakukan, Allâh Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allâh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya... [Al-Baqarah/2: 286]

Tidak ada hal apa pun yang sulit dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla tidak akan membebankan sesuatu yang manusia tidak mampu melaksanakannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا، وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْـجَةِ

Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah. Tidaklah seseorang mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan (tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna). Oleh karena itu, berlaku luruslah, sederhana (tidak melampaui batas), dan bergembiralah (karena memperoleh pahala) serta mohonlah pertolongan (kepada Allâh) dengan ibadah pada waktu pagi, petang dan sebagian malam.[8]

Hanya saja ada sebagian orang yang menganggap Islam itu berat, keras, dan sulit. Anggapan keliru ini muncul karena :
1. Ketidaktahuan tentang Islam. Mereka tidak belajar al-Qur'ân dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Shahabat, dan tidak mau menuntut ilmu syar’i.
2. Mengikuti hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsu menggap semuanya susah dan berat kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya. Jadi yang mudah dalam pandangan mereka hanyalah yang sesuai dengan nafsu mereka saja.
3. Banyak berbuat dosa dan maksiat, sebab dosa dan maksiat menghalangi seseorang untuk berbuat kebaikan dan selalu merasa berat untuk melakukannya.
4. Mengikuti agama nenek moyang dan mengikuti pendapat orang banyak.
5. Mengikuti adat istiadat dan kebudayaan.
6. Mengikuti kelompok, madzhab, dan lainnya.

Syari’at Islam adalah mudah. Kemudahan syari’at Islam berlaku dalam semua hal, baik dalam ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) maupun furu’ (cabang), baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, jual beli, pinjam-meminjam, pernikahan, hukuman dan lainnya.

Semua perintah dalam Islam mengandung banyak manfaat. Sebaliknya, semua yang dilarang dalam Islam mengandung banyak kemudharatan. Maka, kewajiban atas kita untuk sungguh-sungguh memegang teguh syari’at Islam dan mengamalkannya. Apabila kita mengikuti al-Qur'ân dan as-Sunnah dan mengamalkannya maka Allâh Azza wa Jalla akan memberikan hidayah (petunjuk) dan kita dimudahkan dalam melaksanakan agama Islam ini.

ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Agama Islam sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi. Kewajiban umat Islam adalah ittiba’. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“... Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu...” [al-Mâidah/5:3]

Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan dalam al-Qur'ân tentang ushûl (hal-hal pokok dan mendasar) dan furu’ (cabang-cabang) agama Islam. Allâh Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang tauhid dengan segala macam-macamnya. Islam menjelaskan tentang beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla dengan benar, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan syirik, bagaimana shalat yang benar, zakat, puasa, haji, bagaimana melaksanakan hari raya, bergaul dengan manusia dengan batas-batasnya sampai tentang cara buang air besar pun diajarkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ سَلْمَانَ z قَـالَ: قَـالَ لَنَـا الْمُشْـرِكُوْنَ: قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ كُلَّ شَيْئٍ حَتَّى الْـخِرَاءَةَ ! فَقَالَ: أَجَلْ !

Dari Salmân Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Orang-orang musyrik telah bertanya kepada kami, ‘Sesungguhnya Nabi kalian sudah mengajarkan kalian segala sesuatu sampai (diajarkan pula adab) buang air besar!’ Maka, Salman Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Ya!’”[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada manusia apa saja yang membawa manusia ke Surga dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

عَنْ أَبِـى ذَرٍّ z قَالَ: تَرَكَنَا رَسُوْلُ اللهِ j وَمَا طَائِرٌ يُقَلِّبُ جَنَاحَيْهِ فِـي الْهَوَاءِ إِلَّا وَهُوَ يَذْكُرُنَا مِنْهُ عِلْمًا. قَالَ: فَقَالَ j: مَا بَقِـيَ شَـيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْـجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ.

Dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , ia mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik-balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzarr Radhiyallahu anhu , “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kepada kalian.’” [10]

Setiap Muslim wajib mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada al-Qur'ân dan as-Sunnah. Allah Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisâ’/4:59]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisâ’/4:65]
Wallaahu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahih: HR. Muslim (no. 2564 (33)), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Pembahasan lengkapnya lihat kitab al-Ibthâl Linazhariyyatil Khalthi baina Dînil Islâm wa Ghairihi minal Adyân karya Syaikh Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, cet. Daar ‘Alamul Fawaa-id, cet II/ th. 1421 H.
[3]. Shahih: HR. Muslim no 153 (240) dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[4]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (hlm. 63), cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1420 H.
[5]. Shahih: HR. Muslim (no. 26) dari Shahabat ‘Utsman Radhiyallahu anhu.
[6]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 128) dan Muslim (no. 32), dari hadits Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu.
[7]. Pembahasan ini diambil dari kitab Kamâluddîn al-Islâmi oleh Syaikh ‘Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim (hlm. 42) dan Shuwarun min Samâhatil Islâm oleh DR. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali Ar-Rabii’ah, cet. Darul Mathbu’aat al-Haditsah, Jeddah th. 1406 H, dan kitab-kitab lainnya.
[8]. Shahih: HR. al-Bukhari (no. 39), Kitâbul Imân bab ‘Addînu Yusrun’, dan an-Nasa-i (VIII/122), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9]. Shahih: Riwayat Muslim (no. 262 (57)), Abu Dawud (no. 7), at-Tirmidzi (no. 16) dan Ibnu Mâjah (no. 316), dari Salmân al-Farisi Radhiyallahu anhu.
[10]. Shahih: HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/155-156, no. 1647) dan Ibnu Hibbân (no. 65) dengan ringkas, dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahâdîts Ash-Shahîhah (no. 1803).

Senin, 01 Juni 2015

MENGAIS RIZQI DENGAN RIDHO ILLAHI


Oleh : Ust. Mukhlis Abu Dzar Al Batawy

Setiap insan tentu membutuhkan rizki berupa tempat tinggal, makanan, pakaian, kendaraan dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Untuk mendapatkan itu semua seseorang harus mencari nafkah dengan berbagai usaha yang halal. Bagi seorang muslim, mencari rizqi secara halal merupakan salah satu prinsip hidup yang sangat mendasar, dan seandainya rizqi yang kita cari hanya sedikit hasilnya dan sulit mencarinya tapi selama mendapatkannya dengan jalan yang halal jauh lebih baik daripada mudah mendapatkannya, dan banyak perolehannya namun dengan cara yang tidak halal. Dan yang lebih jelek lagi adalah bila seseorang mencari nafkah dengan susah payah, sedikit mendapatkannya, akan tetapi di tempuh dengan jalan yang tidak halal.  Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaknya kita memperhatikan cara mencari rizqi yang halal. Jangan sampai daging yang tumbuh di badan kita menjadi sulutan api neraka di akhirat kelak.

Kewajiban mencari rizqi bagi setiap insan
Alloh telah mewajibkan setiap hambanya untuk mencari rizqi, terutama seorang suami yang menjadi tulang punggung keluarga wajib atasnya menfkahi anak dan istrinya. Semua kebutuhan yang menjadi penopang setiap keluarga tidak datang begitu saja, tapi semuanya perlu ikhtiyar (usaha) untuk mendapatkannya.
Sebagai Alloh menyatakan dalam firmannya:
فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Alloh. (QS. Al Jum’ah [62]: 10).

Berkata Jabir Abu Bakar al jazairi:” Carilah rizqi dari Alloh baik dengan usaha atau bekerja. (Lihat Aisaru tafasir: 5/350).

Mengais rizqi bukan aktifitas baru, akan tetapi telah di tempuh oleh Nabi Adam, semenjak Alloh menurunkan Beliau ke muka bumi ini, beliau jerih payah menapaki bumi ini untuk mengganjal perut dengan makanan sebagai penyambung hidup.
Itulah apa yang telah digambarkan oleh Alloh dalam al Qur’an:
فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى
“Janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. (QS. Thoha [20]: 117)

Berkata Syaikh Muhammad Amin as-Syinqiti:” Yaitu beliau lelah karena bekerja keras dan berusaha mencari rizqi, karena beliau di dunia setelah di keluarkan dari surga tidak mendapat makanan sampai beliau membajak tanah, kemudian bercocok tanam, dan Beliau terus mengelola pertaniannya sampai menuai hasilnya, setelah itu, beliau membersihkan hasil tanaman itu dan mengolahnya menjadi adonan roti. (Adwaul Bayan: 4/107).
Dan usaha mencari rizqi adalah salah satu bentuk tawakkal kepada Alloh, tidaklah di katakan tawakkal tanpa usaha.
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Umat ini telah bersepakat bahwasanya tawakal tidak menafikan untuk mengambil sebab. Maka tidaklah sah tawakal kecuali dengan mengambil sebab-sebabnya. Jika tidak demikian maka tawakalnya rusak dan sia-sia”. (Madarijus Salikin 2/121).

Carilah rizqi dengan cara yang halal
Islam menghendaki kebaikan dalam segala hal, terlebih dalam persoalan harta. Harta yang kita usahakan hendaknya bersumber dari sesuatu yang halal dan kita salurkan di jalan yang halal pula, karena dengan cara itulah kita bisa mendapatkan ridho dan keberkahan dari-Nya.
Alloh berfirman dalam surat Al-Baqoroh:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik apa yang terdapat dibumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagi kamu” (QS. Al Baqoroh [02]: 168).
Mengapa kita disuruh mencari rizki yang halal? Supaya mendapat keberkahan dalam hidup kita. Sehingga apa yang kita makan, minum, manfaat diberkahi Alloh. Karena sesuatu yang diberkahi Alloh,  maka kita akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. sebab cita-cita hampir setiap orang tidak hanya bahagia didunia tetapi juga bahagia di akhirat.

Cara mencari rizqi yang halal
Untuk  mencari rizqi yang halal banyak caranya, sesorang  bisa mengadakan hubungan dengan lingkungan dan sesama manusia. Baik dengan bertani, berdagang, atau melalui kegiatan pengolahan alam, produksi, distribusi, dan usaha-usaha lainnya. Melalui hubungan muamalah tersebut, manusia berusaha mencari pendapatan dari kegiatan yang diharapkan akan saling menguntungkan.
            Itulah apa yang terpatri dalam firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An Nisa [04]: 29).

Dampak negatif dari memakan harta harom
            Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa setiap perintah dalam agama walaupun terkadang terasa susah, akan tetapi kemaslahatannya jauh melebihi kesusahan yang ada. Begitu juga sebaliknya, segala larangan, walaupun kadang kala mendatangkan keuntungan, akan tetapi kerugian yang melekat padanya jauh lebih banyak dari keuntunganya.
Dalam al qur’an dan as sunnah, Alloh telah menjelaskan cara mencari rizqi yang halal, dan juga telah menjelaskan cara mendapatkan rizqi yang harom, seperti mencuri, memakan riba, menipu dan sebagainya, tujuannya adalah agar kita bisa membedakan antara usaha yang mendatangkan maslahat dan madhorot.

Diantara dampat negatif dari harta harom adalah:
1.      Sumber kemurkaan Alloh baik di dunia maupun di akherat.
Itulah di antara bahaya memakan dan menfaatkan harta haram, Sesungguhnya Alloh sangatlah murka terhadap orang-orang yang memperoleh rizqi dari jalan yang harom. Jika Alloh sudah murka kepada seorang hamba maka pintu rohmat pun akan tertutup baginya.
Camkanlah firman Alloh yang berbunyi:
كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَلَا تَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي ۖ وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَىٰ
“ Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. dan Barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, Maka Sesungguhnya binasalah ia. (QS. Thoha [20]: 81).

2.      Harta Harom sebab tidak terkabulnya doa seorang hamba.
Sesunggunya diantara penyebab tidak terkabulnya doa adalah makan, minum dan memanfaatkan harta harom.
Sebagaimana Rosululloh bersabda dalam sebuah hadits yang di riwayatkan Abu huroiroh:"Wahai manusia! Sesungguhnya Alloh itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula. Dan sesungguhnya Alloh telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang telah Iaperintahkan kepada para Rasul. Dengan firmannya:

يا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّباتِ وَ اعْمَلُوا صالِحاً إِنِّي بِما تَعْمَلُونَ عَليمٌ
Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Mu’minun [23]: 51).

Kemudian Rosululloh menyebutkan seorang lelaki yang bepergian jauh, hingga penampilannya menjadi kusam, lalu  ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil berkata: 'Ya Rab, Ya Rab,' sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana mungkin permohonannya dikabulkan." (HR. Muslim: 2393).
Berkata Syaikh Muhammad Amin as-Syinqiti:” Ini adalah dalil yang sangat jelas, bahwa do’a seorang laki-laki tersebut yang merupakan ibadah yang paling agung tidak diterima, karena ia tidak makan, minum, dan berkendaraan dari yang halal. (Adwaul bayan: 5/325)
            Demikainlah, marilah kita jaga diri, keluarga, dan anak-anak kita dari sesuap makanan yang harom, jangan sampai daging yang tumbuh di tubuh kita menjadi bara api neraka di akhirat kelak. Semoga Alloh memudahkan kita semua dalam mencari rizqi yang halal dan harta yang sudah kita dapatkan selama ini mendapat keberkahan dari Alloh. 

Klik
Promo Umroh Murah Akhir Tahun 2015